Rabu, 14 Juli 2010

PKL Kapoposang 2010

Hembusan anging Mamiri terasa menyengat menyongsong sang fajar. Mobil Avansa yang kami tumpangi terus melaju meninggalkan hotel grand wisata menuju Pangkep. Aku yang duduk di garda paling belakang ditemani Ilham berceloteh ringan sambil memandangi hamparanan lahan sawa yang ditumbuhi padi dan model rumah adat penduduk bugis. Maklum, pangkep kan mayoritas penduduk Bugis. Model rumah panggung, tangga dibagian samping dan model atap rumah yang menyilang adalah ciri khas rumah adat bugis yang paling mudah dikenali. Tepat pukul 6.10 Wita, rombongan tiba di sungai pangkep, satu persatu barang-barang diturunkan dan ditumpuk di halte kecil yang ada disitu.

“Ilham,,, rombongan mobil PKL da nyampe belum??”... sapa Pak Kepala BKKPN. ‘Belum pak’ sahut ilham. Lho.. ko belum nyampe.. aku khan da bilang kemarin, mendingan star bareng dari hotel aja. Aku yang lagi menyibukan diri merapikan barang-barang logistic yang tertumpuk di halte hanya diam sambil menghindar menjauhi ilham dan Pak Kepala BKKPN. Wah…. Bakal dapat serangan fajar neh pagi-pagi. Untung ibu Maya cepat mengambil inisiatif. “Krek”… terdeangar suara kantung plastic warna merah yang dibukanya berisikan Nasi kuning. “Sarapan dulu Pak, Kata Maya”, sambil menawarkan sekotak nasi kuning. Ide Mbak Maya ternyata Mujarap. Setidaknya bisa mendinginkan suasana sambil menunggu rombongan mobil PKL tiba. Pak kepala dengan lahapnya menyantap nasi kuning pemberian Mbak Maya seolah-olah melupakan keterlambatan rombongan PKL. Jadi pengalaman baru neh. Makanan ternyata bisa meredamkan amarah. Jadi, buat officer konservasi di 7 kawasan dan staf BKKPN di kantor, kalau Pak Kepala BKKPN lagi marah, tawarkan aja makanan. Semuanya pasti pasti beres.

Ani, Chichi, Riri Ifa dan Ebe yang berada dirombongan mobil PKL belum juga sampai. Ternyata di Indonesia pembagian waktu bukan cuma WIB, WITA dan WIT. Plus satu lagi, WIK alias Waktu Indonesia Kelautan. Aturan WIK adalah relative, waktu tidak ada yang mutlak. WIK anti dengan tepat waktu. Aturan WIK sepertinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari setiap kegiatan mahasiswa khususnya Ilmu kelautan. Mungkin jika dibuatkan persentasi terhadap kegiatan yang tidak tepat waktu yang pernah diakukan mahasiswa Ilmu kelautan bisa mencapai 100 %. Ingin tahu awalnya WIK? Simak ceritanya !!!

WIK awalnya doktrin yang sudah ditanamkan semenjak pengkaderan. Banyak sekali orang yang tidak menyadari hal ini. Meski setiap hari selalu ditekankan untuk selalu tepat waktu, namun tetap saja kebiasaan itu tetap terjadi. Munculnya WIK pada dasarnya adalah perpaduan waktu versus kebenaran. WIK juga merupakan keinginan untuk membuat seseorang untuk tidak tepat waktu. Mungin semua berawal dari falsafah pengkaderan, “senior selalu benar, MABA selalu salah dan jika senior melakukan kesalahan maka di kembalikan ke pasal 1, yaitu senior selalu benar”. WIK pertama kali aku mendengarnya ketika OSPEK tahun 2005. Kejadian ini terjadi, ketika akan dilakukan pengumpulan. Semua Mahasiswa baru angkatan 05 disampaikan untuk berkumpul tepat pukul 05.00 WITA di pintu Nol UNHAS. Maklumlah masi MABA, semua peserta OSPEK dihukum karena tidak ada satupun yang tepat waktu. Termasuk saya. Semua yang datang baik sebelum dan dan sesudah pukul 05.00 dianggap tidak tepat waktu. Bagi yang datang sebelum pukul 05.00 juga dianggap salah. Alasannya sederhana “ kalian semua disuruh kumpul jam 05.00 bukan sebelum jam 05 atau lewat jam 05.00. jika ada yang protes jika waktu yang digunakan tidak seragam antara senior dan MABA, mereka berdalih bahwa yang dipakai disini adalah Waktu Indonesia Kelautan (WIK). Dari sinilah awalnya WIK itu muncul, dari pada datang sebelum 05.00 juga dihukum, mendingan terlambat aja sekalian terus dihukum. Kebenaran mutlak terhadap waktu tetap berada pada otoriter senior dan menganggap MABA selalu salah. Jangan mencoba untuk protes meski dalam posisi benar. Sebab, jika diprotes akan kembali ke pasal 1 yaitu senior selalu benar.

Jadi, hati-hati aja sama keluarga Mahasiswa Ilmu kelautan. Kalau buat janji, dikesepakati dulu, pakai aturan WIK atau tidak. Termasuk yang terjadi pada rombongan PKL, seharusnya jam 06.00 sudah standby di Pangkep malah datang jam 06.45 WITA.

Tepat pukul 6.55 speedboat Cormep yang disewa meninggalkan sungai Pangekep menuju Pulau Kapoposang. Rombongan terdiri dari anak PKL (Cici, Riri, Ifa, Ani dan Bee), staf BKKPN (Mas Kodir, Mba Maya, Kepala Balai, Ilham dan Saya) Kepala desa Matiro Ujuang dan ABK speet. Diruang kemudi Pak Kepal telihat asyik bersenda gurau bersama anak PKL. Saya yang berada diruang dekat mesin juga asyik bercerita dengan H. Basso, Mas kodir dan Ilham. Pukul 08.00 speedboat di arahkan kepulau Kulambi untuk menjemut kapten kapal yang akan tergabung dalam rombongan. Speedboat melaju dengan kencang melewati gugus pulau Spermonde. Pangkajene dan Kepulauan merupalam kabupaten yang paling banyak memiliki pulau-pulau kecil dengan potensi kelautan dan perikanan yang menjanjikan. Hitungan menit pada jam tangan saya menunjukkan pukul 9.21. terlihat kearah timur pulau Tambakulu dan Godongbali. Kedua pulau ini termasuk dalam wilayah Taman Wisata Perairan Pulau Kapoposang yang dikelolah BKKPN. Tepat pukul 9.46 WITA kami tiba di pulau kapoposang.

Kapoposang… “Im coming” ucapku saat menginjakkan kaki pertama. Satu persatu barang diangkat menuju pondok kerja yang nantinya akan menjadi tempat menginap rombongan. Terlihat H. Basso lagi sibuk mengarahkan warganya untuk mengumpulkan mereka di Balai pertemuan. Satu persatu warga berbondong-bondong menuju Balai pertemuan. Mereka yang datang terlihat sangat sederhana. Kebanyakan dari mereka mengenakan kopia hitam dan sarung yang tergulung diatas mata kaki, layaknya orang yang akan shalat. Potret masyarakat seperti inilah yang akan terlihat pertama kali, jika anda menginjakkan kaki di pulau Kapoposang.

Sambil menunggu warga berkumpul, kami membersihkan salah satu pondok jaga yang akan ditempati nantinya. Kepala desa dan Pak Kepala lagi sibuk berdiskusi, Mas Kodir yang tergabung dalam rombongan terlihat sibuk mengambil gambar dengan kamera digitalnya. “..aku pengen bangat seperti kalian yang kerja teknis, jadi staf administrasi itu gampang, aturannya jelas, ngak kaya di teknis, asyik karena butuh kreativitas dan tantangan..”, ucap Mas Kodir ke Ilham. “..klo gitu kita tukaran aja Mas..” sahut Ilham. Aku yang lagi berdiri disamping mereka hanya tersenyum mendengar ocehan mereka.

Tepat pukul 11.30 WITA, acara pertemuan bersama warga dimulai. Ifa, ebe, cici dan Mba Maya, mengambil posisi tempat duduk yang sejajar diikuti Ilham dan Ani, sedangkan aku dan Mas Kodir sebagai dokumentator selama acara berlangsung. H. Basso sebagai Kepala desa bertindak sebagai pembicara pertama. Sedikit yang bisa dicatat dari pembicaraan H. Basso karena menggunakan bahasa Bugis. Tapi pada intinya, mengutarakan maksud dan tujuan serta memperkenalkan kami ke warganya.

Acara kemudaian dilanjutkan dengan pemaparan tentang gambaran rencana pengelolaan di TWP Kapoposang. Sesekali H. Basso, memotong pembicaraan Kepala Balai untuk di Translate dalam Bahasa bugis biar warga lebih mengerti. Kebanyakan warga Kapoposang khususnya kepala keluarga kurang lancar berbahasa Indonesia. Dengan canda ringan H. Basso mengatakan kalau warganya sebenarnya bukan tidak tahu berbahasa Indonesia, tetapi belum diberitahu. Sama halnya Jika mereka merusak, itu bukan karena mereka tidak tahu, tetapi belum dibertahu yang mana yang seharusnya dilakukan.

Menurut Kepala Dusun yang juga sebagai mantan Kepala Sekolah SDN 12 Kapoposang, penyebab warga Kapoposang tidak lancar berbahasa Indonesia karena kebiasaan sehari-harinya yang menggunakan bahasa Bugis sebagai alat komunikasi. Selain itu, peran sekolah juga belum efektif. Di era tahun 70-an, sekolah hanya berperan untuk bisa mengajarkan siswanya untuk membaca, menulis dan berhitung. Bahkan ketika itu, para siswa tidak mengikuti ujian akhir mendapatkan ijaza karena keterbatasan akses. Akabitanya, para siswa kebanyakan hanya sampai dikelas 4.

Acara kemudian dilanjutkan dengan dialog interaktif bersama warga. Beberapa usalan dari warga adalah menyangkut permohonan batuan. Ada juga yang mengkritik masalah pengawasan utamanya pembom dan pembius yang mulai meningkat dalam masa transisi dari BBKSDA ke BKKPN.

Acara pertemuan dengan warga ditutup dengan Foto bersama Warga. Sambil menunggu Kapten kapal untuk kembali ke Pangkep bersama rombongan Kepala Balai, Ani dkk, menyiapkan makan siang yang sudah disiapkan dari Makassar. Aku menyempatkan berdiskusi dengan warga yang belum pulang. ”Pak.. harapan masyarakat disini sebenarnya sederhana” sapa salah seorang warga kepadaku. Dia kemudian menunjukkan tulisan yang terpanjang di baju salah satu warga lainnya. Tulisan itu tepat berada dibawah logo bergambar ikan dan dua orang penyelam yang dilingkari dengan tulisan Coral Reef Rehabilitation and Management Program. “Tulisan yang mana Pak”.. sapaku kembali. “Itu logonya Korme’, Terumbu karang sehat ikan melimpah, jawabnya dengan dialeg yang kental dengan pengaruh Bugis. Harusnya perlu ditambahkan jadi Terumbu karang sehat, ikan Melimpah, Masyarakat?... Ucapan itu kemudian dilanjutkannya, “kalau bisa meqi jawab itu tanda Tanya yang dimasyarakat, itu me yang kita harapkan disini”.

Sungguh, Bagiku ini adalah sidiran halus namun, sangat mendalam. Sebuah harapan sekaligus kritikan bagi kita semua utamanya di Kementrian Kelautan dan Perikanan. Mereka memberikan pertanyaan sekaligus menunggu jawaban. Harapan mereka seakan-akan terbungkus oleh tanda tanya. Mereka tidak lagi membutuhkan janji dan tidak juga mengajukan harapan. Mereka ibarat sebuah pertandingan bola yang tanpa jelas status antara pemain dan penonton. Kadang-kadang mereka menjadi pemain, kadang juga mereka sebagai penonton dilapangan sendiri. Ini adalah secuil proyeksi masyarakat pulau yang muak akan janji-janji dan kebosanan menunggu harapan. Kapan jawaban itu aka ada? dan siapa yang akan menjawab?.